Image Masyarakat terhadap Pendidikan Madrasah

A.    PENDAHULUAN

Kata madrasah merupakan isim makan dari darasa, yadrusu, darsan yang berarti belajar. Sebutan itu merujuk kepada fungsi utama madrasah dalam kultur islam, yaitu tempat belajar. Dari arti diatas sebagian ahli pendidikan islam menyebutkan bahwa pusat-pusat pendidikan dengan nama madrasah. Jadi pengertian madrasah ialah merupakan suatu lembaga pendidikan yang dibentuk dengan sengaja sebagai pusat berlangsungnya proses pendidikan.[2]

Di Indonesia, pertumbuhan madrasah di Indonesia dianggap sebagai memiliki latar belakang sejarahnya sendiri, walaupun sangat dimungkinkan ia merupakan konsekuensi dari pengaruh intensif pembaharuan pendidikan Islam di timur tengah masa modern. Pada paparan sejarah pendidikan Islam ( khususnya madrasah ) akan terlihat bahwa pendidikan Islam pada saat itu terkesan sebagai pendidikan yang tradisional dan jauh dari sentuhan-sentuhan kemajuan. Oleh karena itu, kondisi tersebut secara alamiah akan membangun image masyarakat bahwa pendidikan Islam identik dengan pendidikan yang terbelakang yang hanya dikonsumsi oleh rakyat kecil. Anggapan terhadap kondisi pendidikan Islam ini, akan menimbulkan asumsi bahwa penyelenggaraan pendidikan Islam ketika itu diselenggarakan dengan apa adanya. Selain itu asumsi-asumsi terhadap pendidikan ini juga di kuatkan oleh adanya kondisi pendidikan Islam yang kurang mendapat perhatian penuh dari pemerintah (waktu itu dan sampai hari ini), sehingga pendidikan Islam termarginalkan dari pada pendidikan umum.

Di sisi lain, perkembangan madrasah pada awalnya berusaha menjembatani antara sistem pendidikan pesantren yang dianggap tradisional dengan sistem pendidikan kolonial yang moderen, secara sederhana dapat dikatakan bahwa madrasah dalam batas-batas tertentu merupakan lembaga persekolahan ala Belanda yang diberi muatan keagamaan. Namun pada prakteknya posisi madrasah masih kontra produksi dengan sistem pendidikan yang dikembangkan penjajah, terutama jika dilihat dari kurikulumnya yang masih dimonopoli oleh ulum al-naqliyah (Islamic science).

Lalu muncul kemudian dikotomi pendidikan, antara sistem pendidikan barat yang moderen dengan sistem pendidikan Islam yang kolot dan tradisional. Pendidikan Islam dicirikan sekolah anak petani miskin, bahkan alumninya hampir tertutup mengakses ke jabatan birokrasi. Dikotomi tersebut pada akhirnya menjadi kesan (image) masyarakat luas yang berdampak kurang baik bagi perkembangan madrasah selanjutnya.

Image masyarakat terhadap Madrasah sering diidentikkan dengan lembaga pendidikan second class, tidak maju, kumuh, dan citra negatif lain masih sering menempel di madrasah. Rendahnya animo masyarakat menengah atas (upper midle class) untuk menyekolahkan anaknya ke madrasah, dilihat dari perspektif fungsional—sebuah teori yang berpandangan bahwa masyarakat merupakan kesatuan sistem yang saling bergantung dan berhubungan—mengindikasikan dua hal yang saling berkorelasi; pertama, terkait dengan problem internal kelembagaan., dan kedua, terkait dengan parental choice of education. 

Di sisi lain, kaitannya dengan parental choice of education, A. Malik Fadjar [3] menyatakan bahwa dalam masyarakat akhir-akhir ini terjadi adanya pergeseran pandangan terhadap pendidikan seiring dengan tuntutan masyarakat (social demand) yang berkembang dalam skala yang lebih makro. Menurutnya, kini, masyarakat melihat pendidikan tidak lagi dipandang hanya sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan terhadap perolehan pengetahuan dan ketrampilan dalam konteks waktu sekarang. Lebih dari itu, pendidikan dipandang sebagai bentuk investasi, baik modal maupun manusia (human and capital investmen) untuk membantu meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan sekaligus mempunyai kemampuan produktif di masa depan yang diukur dari tingkat penghasilan yang diperolehnya.

Tetapi, seperti yang diinformasikan A. Malik Fadjar[4] bahwa terdapat beberapa lembaga pendidikan madrasah yang ternyata dapat bersaing dengan lembaga pendidikan maju lainnya, bahkan beberapa madrasah menunjukkan banyak dikonsumsi oleh masyarakat elit. Menurut berita sebuah media massa, di Jawa Timur dikabarkan ada beberapa madrasah favorit terpaksa harus menolak calon muridnya karena kapasitas yang terbatas (Jawa Post, 23 Juni 1994).

Bahkan di Sukoharjo, Solo, saat penulis sendiri masih belajar di pesantren  pernah mendapatkan satu informasi bahwa  terdapat lembaga madrasah yaitu MIN Sukoharjo I yang menjadi madrasah favorit bagi masyarakat Sukoharjo. Dari data yang ada menunjukkan bahwa lembaga pendidikan madrasah tersebut banyak dikonsumsi oleh masyarakat menengah atas.

Kalau dicermati regulasi pendidikan pada orde reformasi ini sangat cepat. Dari undang-undang, peraturan-peraturan, sampai surat edaran yang terkait dengan pendidikan sangat lumayan banyak. Dan, dari seluruh aturan pendidikan tersebut nyaris tidak ada lagi dikotomi: sekolahmadrasah. Namun, masih ada saja yang punya anggapan bahwa masih ada diskriminasi   pemerintah dalam menyikapi anak bangsa, yang di sekolah dan yang di madrasah. Pemenuhan tentang standar biaya, misalnya. Ternyata bukan hanya masalah biaya. Kepengawasan pendidikan di Kemenag juga belum ada payung hukumnya . Sampai saat ini yang dipunyai masih sebatas pengawas PAI. Tentu tugasnya khusus untuk guru PAI. Lalu bagaimana untuk  guru non-PAI? Siapa yang mengurusi? Siapa yang  membina, dan siapa yang akan memberikan penilaian?. Dengan ditetapkannya pedoman BOS 2012, pada mata anggaraan belanja honor yang maksimum 20% untuk madrasah negeri menjadi masalah baru. Rata-rata di madrasah negeri masih ada GPP dan PTT yang lumayan banyak, belum lagi madrasah yang dikelola oleh swasta.

Kenyataan ini  menunjukkan bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam, baik itu pesantren atau madrasah kebanyakan memang tumbuh dari bawah; dari inisiatif dan swadaya masyarakat. Data terakhir menunjukkan bahwa hanya sekitar 4,8% madrasah yang berstatus Negeri, sementara 95,2% lainnya berstatus Swasta.[5] Ini membuktikan bahwa peran masyarakat dalam mendirikan dan membina madrasah jauh lebih besar daripada apa yang telah dilakukan oleh pemerintah.

Dalam pada itu, kondisi global yang penuh persaingan dalam segala bidang mau tidak mau membuat madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang bernaung di bawah Departemen Agama harus ikut berkompetisi  dalam persaingan tersebut. Peningkatan kualitas madrasah dalam segala aspeknya baik itu menyangkut kurikulumnya, Sumber daya manusianya serta aspek-aspek yang lain menuntut peran serta tidak hanya dari pemerintah tapi lebih dari itu adalah peran serta dari masyarakat yang mengambil posisi terdepan dalam pendirian, pengembangan dan pemberdayaan pendidikan di madrasah.

Paparan diatas, setidaknya memicu tanggapan dan analisis semua pihak untuk kemudian didiskusikan guna mendapatkan solusi dan alternative dalam mempertahankan keberadaan madrasah dan meng-eksiskan kembali ditengah masyarakat. Tulisan ini merupakan upaya untuk menemukan berbagai  problem solving atas masalah-masalah tersebut diatas.

B.     MADRASAH DAN MASYARAKAT

Masyarakat didefinisikan oleh banyak para ahli, seperti yang dikemukakan oleh Hassan Shadily [6]  yang menyatakan bahwa masyarakat itu adalah golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa manusia yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan pengaruh-mempengaruhi satu sama lain.

Awan Mutakin mendefinisikan pengertian masyarakat tidak lain dari orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Kemudian masyarakat juga merupakan pendukung, pemelihara, pengembang dan mewariskan kebudayaan tersebut kepada generasi-generasi berikutnya.[7]

Adanya anggapan dari  masyarakat bahwa madrasah adalah tempat yang kurang layak, terkesan sebagai pendidikan yang “asal-asalan” tidak serius dalam mendidik anak itu akan menjadi hilang. ketika madrasah berani menampilkan dirinya sebagai basic of mental education  dapat mencetak manusia yang berkualitas. Manusia berkualitas yang tercermin pada diri anak didik yaitu memiliki keshalehan pribadi (memiliki imtaq dan cerdas) dan keshalehan sosial.

Sejarah mencatat bahwa awal penyelenggaraan pendidikan Islam dilakukan oleh para wali sembilan yang terkenal sebagai peletak dasar pendidikan Islam di Indonesia. Para wali khusunya di tanah Jawa dipandang telah merintis berdirinya lembaga pendidikan Islam yang kemudian dikenal dengan nama Pesantren.[8] Walaupun pada perkembangannya banyak rintangan yang harus dihadapi.

Menurut Bawani [9] diantara rintangan itu adalah dengan datangnya para penjajah Belanda yang ingin mengambil alih posisi pendidikan Islam untuk dijadikan tempat mencetak tenaga-tenaga kerja murahan guna kepentingan kolonial Belanda sendiri, walaupun pada akhirnya pemerintah Belanda gagal untuk mengalihkan posisi pendidikan Islam tersebut. Kegagalan ini menjadikan mereka berfikir untuk memilikinya. Akhirnya mereka memiliki inisiatif  untuk mendirikan sekolah sendiri sebagai alternatif pendidikan yang sesuai dengan keinginannya. Pendidikan kolonial Belanda ini-lah yang pada akhirnya menjadi bibit dari munculnya sekolah umum.

Secara historis, Ia juga menyebutkan bahwa apa yang dilakukan oleh Belanda tersebut merupakan awal terjadinya berbagai macam pendidikan di Indonesia. “Setelah Indonesia merdeka, pendidikan umum mengalami peningkatan yang cukup pesat jika dibandingkan dengan pendidikan Islam.” Peningkatan perkembangan pendidikan umum ini terjadi karena pendidikan umum pada waktu itu telah diambil alih oleh pemerintah Indonesia dan diarahkan pada pendidikan yang berorientasi pada pengembangan kualitas masyarakat dibidang umum. Seperti mencetak tenaga pegawai atau tenaga-tenaga yang berorientasi pada dunia kerja. Sedangkan pesantren dan pendidikan madrasah yang ada di dalamnya tidak banyak mengalami perubahan bahkan dapat dikatakan statis.[10]

Dari sinilah, lagi-lagi persoalan-persoalan pendidikan Islam itu muncul, seperti persoalan dari perspektif kurikulum yang perlu dikaji ulang, serta anggaran dana yang relatif minim,[11] maupun kualitas lulusannya yang masih jauh dari harapan (standar kualitas ilmu pengetahuan umumnya).

Oleh karena itu, pemerintah berusaha untuk menyeragamkannya dengan mengeluarkan Surat Keputusan  Bersama ( SKB )  tiga mentri pada tahun 1975 yang isinya menyangkut mutu madrasah  diharapkan dapat sejajar dengan sekolah umum. Berangkat dari kondisi ini pula tampak bahwa kualitas madrasah (pendidikan Islam) sangat jauh jika dibandingkan dengan pendidikan umum (pada waktu itu).

Kemudian muncul persoalan yang baru yaitu, pada waktu pelaksanaan SKB Tiga Menteri tersebut, terjadi adanya kecaman yang dialamatkan pada madrasah yang melaksanakan keputusan itu. Ternyata mutu pengetahuan agama lebih-lebih bahasa arab menjadi amat rendah. Rendahnya kualitas pendidikan tersebut disebabkan oleh kondisi siswa yang mengharuskan mereka untuk menguasai dua mata pelajaran. Selain mereka memikirkan mata pelajaran agama yang sangat banyak, mereka juga harus memikirkan pelajaran-pelajaran umum yang juga cukup banyak, serta membutuhkan waktu yang banyak pula. Sehingga yang terjadi adalah beban pelajaran yang terkesan amat berat. Karena memang kurikulum pada saat itu belum diformat dengan baik. Oleh karena itu, berbagai hal inilah yang menyebabkan rendahnya kualitas peserta didik.

Dari fenomena inilah muncul permasalahan mengapa sekolah umum  atau madrasah-madrasah tertentu begitu  diminati masyarakat menengah atas sementara yang lainnya tidak? dan bagaimana pula pertimbangan-pertimbangan orang tua–kaitannya dengan parental choice of education–melakukan pilihan terhadap lembaga-lembaga pendidikan tertentu?. Signifikansi dari jawaban terhadap persoalan tersebut adalah berusaha memahami secara komprehensif dan integral, yang pertama, yaitu secara makro memahami pergeseran kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan dengan cara memahami alasan (reason) orang tua dalam melakukan pilihan pendidikan terhadap anaknya (parental choice of education), dan kedua, secara mikro memahami kondisi internal kelembagaan madrasah dalam merespon kecenderungan-kecenderungan kebutuhan, tuntutan, dan harapan masyarakat.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan, terutama di MIN Malang I, menunjukkan bahwa alasan yang mendasari pilihan masyarakat menyekolahkan anaknya ke MIN Malang I, berdasarkan dari hasil angket yang disebarkan  tahun 1996, dapat diperoleh keterangan bahwa alasan orang tua menyekolahkan anaknya secara berurutan adalah; (a) sitem pendidikan yang mengkombinasikan mata pelajaran umum dan mata pelajaran keagamaan, (b) disiplin tinggi dan dedikasi para guru cukup tinggi, (c) prestasi lulusannya cukup tinggi, (d) tersedianya laboratorium cukup lengkap, (e) metode pengajaranya cukup baik dan mudah diterima, (f) Sekolah Negeri, dan (g) tempatnya bagus dan strategis.[12]

Disamping itu dalam perspektif sosiologi,  parental choice of education juga dipengaruhi oleh obsesi masyarakat dalam mobilitas sosial, dan pertimbangan-pertimbangan sosiologis; meningkatkan derajat statatus sosial, untuk memperoleh peran sosial yang tinggi dan bergensi, dan seterusnya. Di sisi lain parental choice of education, juga dipengaruhi antara lain; karena faktor emosional keberagamaan, emosional keorganisasian, aliran, sekte dan seterusnya.

C.    MADRASAH DIANTARA DUA PILIHAN

Keadaan seperti yang dikemukakan diatas, menyimpulkan bahwa  masyarakat mempunyai image bahwa lembaga pendidikan yang berlabelkan agama cenderung mengarah pada pendidikan yang terbelakang dan jauh dari kualitas pendidikan yang diharapkan. Image tersebut didasarkan pada beberapa faktor yang menyebabkan pendidikan Islam terkesan pendidikan yang terbelakang.  Diantaranya yaitu tidak terpenuhinya beberapa maksud pemerintah dalam melaksanakan pembangunan dalam sektor agama, khususnya agama Islam. Faktor-faktor tersebut antara lain adanya anggapan di masyarakat bahwa lulusan sekolah agama lebih-lebih para sarjananya dipandang nilai gengsinya lebih rendah dibandingkan dengan para insinyur, dokter dan sarjana-sarjana lain non agama. Anggapan ini secara langsung maupun tidak telah membawa dampak psikologis dan kesenjangan sosial pendidikan, sehingga muncul anggapan bahwa sarjana-sarjana non agama dipandang memiliki masa depan jauh lebih baik dari pada sarjana-sarjana agama.” [13]

Oleh karena itu, masyarakat enggan untuk menitipkan putra-putrinya kelembaga pendidikan yang berlabelkan agama Islam. Apalagi bagi mereka masyarakat yang termasuk dalam golongan “the have. Tentu mereka tidak ingin putra-putrinya menjadi gagal dalam pendidikan yang diakibatkan dari kesalahan penempatan pendidikan anak–anak mereka yang cendrung pada kurangnya fasilitas maupun rendahnya kualitas pendidikannya.

Keadaan demikianlah yang menyebabkan munculnya alasan bagi mereka yang memiliki keuangan lebih untuk berbondong-bondong mempercayakan pendidikan putra-putrinya keluar negeri diantara alasannya adalah memiliki keuntungan lebih. Pertama, mereka bisa langsung merasakan pergaulan interasional karena mereka langsung datang dan tinggal di lingkungan tersebut. Keuntungan lainnya adalah pelajaran bahasa Inggris yang menjadi lebih baik dan bisa menjadi modal bagi pergaulan internasional. Orang tua punya harapan besar ketika menanamkan investasi pendidikan bagi anak mereka bersekolah di luar negeri. Oleh karena itu, mereka harus membawa keuntungan ketika kembali ke negeri ini. Selain mereka dihargai tinggi saat bekerja, mereka juga bisa mengamalkan ilmu itu di dalam negeri.

Pendidikan agama semacam ini banyak diselenggarakan oleh orang-orang NU (Nahdhotul Ulama’) yang memiliki jumlah jama’ah terbesar di Indonesia. Jama’ah NU yang besar inilah yang kemudian mengharuskan tokoh-tokoh NU untuk menyelenggarakan pendidikan sebagai sarana pendidikan bagi para warganya. Keadaan semacam ini ternyata bukan hanya terjadi pada orang-orang NU saja, akan tetapi juga terjadi pada orang-orang Muhammadiyyah. “Entah berapa ribu madrasah dan sekolah disamping pesantren yang bernaung dibawah NU dan Muhammadiyyah, yang diselenggarakan dengan ‘asal buka’. Dimana kondisi tersebut tidak banyak didukung oleh komponen-komponen obyektif yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pendidikan. Sehingga ada beberapa titik lemah yang harus diperbaiki dalam pembinaannya, diantaranya yaitu, sumber dana, manajemen, sarana dan tenaga.”[14]

Sejarah keberadaan madrasah inilah, yang menjadikan image madrasah jatuh, maka perlu  madrasah untuk segera merubah pandangan masyarakat bahwa madrasah pada awal abad XXI ini, juga merupakan pendidikan yang maju dan berkualitas bahkan memiliki kualitas yang plus jika di bandingkan dengan sekolah umum. Dengan adanya pameran tentang pendidikan madrasah maka keberadaan madrasah akan di perhitungkan dalam persaingan dalam dunia pendidikan.

Image masyarakat terhadap Madrasah sering diidentikkan dengan lembaga pendidikan second class, tidak maju, kumuh, dan citra negatif lain masih sering menempel di madrasah. Citra madrasah seperti itu harus diubah melalui unjuk prestasi dan unjuk bukti. Untuk mewujudkan madrasah yang berprestasi perlu langkah-langkah strategis yang harus dikembangkan oleh madrasah dalam membangun citra positif  sehingga ada akselerasi peningkatan kualitas madrasah.

Langkah-langkah yang harus diperhatikan oleh insan madrasah untuk mengantarkan madrasah yang memiliki citra positif  adalah madrasah harus mempunyai (1) visi dan misi yang jelas, (2) kepala madarasah yang professional, (3) guru yang professional, (4) lingkungan yang kondusif, (5) ramah siswa, (6) manajemen yang kuat, (7) kurikulum yang luas tapi seimbang, (8) penilaian dan pelaporan prestasi siswa yang bermakna, serta (9) pelibatan orang tua/masyarakat.

Menciptakan trend dunia pendidikan pada saat ini menjadi sebuah tuntutan. Bila dikomparasikan dengan produk-produk elektronik, dunia pendidikan juga hendaknya lebih berani berinovasi meskipun disadari bahwa produk pendidikan tidak bisa dinikmati secara langsung. Keberanian berevolusi di bidang pendidikan di bawah Kementrian Agama menjadi sebuah tantangan agar stigma masyarakat yang menganggap madrasah sebagai kasta kedua perlahan-lahan akan pupus.

Untuk menciptakan citra unggulan madrasah perlu mempertimbangan beberapa rumus. Pertama, be Inovative, menciptakan suatau produk terobosan yang baru. Istilah inovasi bisa diolah pada materi kurikulumnya, fasilitas, atau pengajarannya, seperti Madrasah Tsanawiyah Negeri Purwakarta dikenal sebagai madrasah hijau dan produk pupuk serta obat-obat Herbal.

Kedua, be Different, bila inovasi sulit dicapai, maka membuat yang berbeda dari sekolah/madrasah lain juga merupakan jembatan yang tidak rumit. Seperti kalau pada produk makanan, lazimnya bakso berbentuk bundar, tapi kita bisa menciptakan bakso cinta, bakso bintang dsb. Restoran juga sering menyajikan menu dengan istilah yang aneh, seperti soto Petir, bakso rudal, bakso golf, sate bledeg. Tidak hanya di sini saja banyak produk jasa melengkapi dengan fasilitas hot spot untuk melayani user yang accep pada teknologi.

Ketiga be The Best, bila ingin menciptakan produk yang sama setidaknya kita bisa melayani dengan cara yang terbaik, dari fasilitas dan pengajaran yang terbaik. Maksud dari pelayanan yang terbaik adalah memberikan segala kelebihan di banding dengan sekolah/madrasah lain, dari segi fasilitas sampai dengan pelayanan. Pelayanan juga menyangkut kemudahan dalam mengakses segala sesuatu yang berhubungan dengan sekolah/madrasah yang bersangkutan. Keramahan wajib diterapkan supaya para pelanggan merasa nyaman dan diperhatikan.

Usaha untuk mengkomunikasikan  peningkatan mutu dan keberhasilan madrasah di bidang pendidikan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara.  Untuk masyarakat sasaran tingkat lokal, itu dapat dilakukan dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang menyebabkan masyarakat setempat tertarik untuk datang ke madrasah tersebut.  Pameran, kegiatan olah raga dan kesenian yang melibatkan masyarakat setempat, kunjungan orang tua dan calon siswa ke sekolah (open day), keikutsertaan dalam pawai dan karnaval di kota sendiri, semuanya merupakan sarana untuk memperkenalkan madrasah itu ke masyarakat dan mengkomunikasikan prestasi madrasah.  Untuk masyarakat sasaran yang lebih jauh tempatnya, komunikasi ini dapat dilakukan lewat brosur, tanggalan, cinderamata, majalah siswa madrasah, newsletter, atau surat kabar umum (lewat pemuatan berita kegiatan madrasah) atau membuka situs baik dalam bentuk situs resmi berbayar atau tak berbayar semacam blog, ataupun forum-forum diskusi dalam dunia maya semacam yahoogroup atau yang sejenisnya.

D.    PENUTUP

Demikianlah gambaran image masyarakat terhadap madrasah, sekiranya peran –peran strategis dari kalangan pendidik baik akademisi maupun guru sangat menentukan persepsi masyarakat akan pendidikan madrasah tidak ada ruginya bagi mereka itu untuk serius menggarap lading pendidikan paling strategis ini bagi dunia dan akhirat. Perlu perjuangan dan pemikiran serius untuk bisa keluar dari kungkungan stigma masa lalu menuju perubahan pendidikan yang menjanjikan bagi masyarakat.

SUMBER BACAAN

A. Malik Fajar, Madrasah dan Tantangan Modernitas (Cet. I; Bandung : Mizan, 1998),

Abudinnata, Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Grasindo,2001),

Agus Sholeh, Posisi Madrasah di Tengah Tuntutan Kualitas, dalam Suwito dan Fauzan (ed.), Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media, 2005,

Amir, Feisal Jusuf, Kebijakan pendidikan Nasional Menghadapi Tantangan Global, (dalam Pendidikan untuk masyarakat Indonesia baru), Ikhwanuddin dan Dodo Murtadlo (editor), Jakarta, PT Grasindo, 2002

Arifin, Muzayyin, Pendidikan Islam  dalam Arus Dinamika Masyarakat: Suatu Pendekatan Filosofis, Pedagogis, Psikososial, dan Kultural.  Jakarta : Golden Terayon Press, t.th.

Aziz, Abdul, Kesetaraan Status dan Masalah Mutu Lulusan Madrasah, Edukasi, Vol. 3, No. 1, Januari-Maret 2005

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999.

Bawani, Imam, 1987. Segi-Segi Pendidikan Islam, Al-Ikhlas, Surabaya.

BP-3 MIN Malang I, tt; dalam Imran  Arifin, 1998, Disertasi tidak diterbitkan.

Departemen Agama RI, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Dirjen BINBAGA Islam.

Djamas, Nurhayati, Posisi Madrasah di tengah perubahan Sistem Pendidikan Islam, Edukasi, Vol. 3, No. 1, Januari-Maret 2005

Djumhur dan Danasaputra,  Sejarah Pendidikan Islam 1990, Pustaka Ilmu, Bandung )

Faisal, Sanapiah. 2003, Format-Format Penelitian Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Hadari, Nawawi, Pendidikan Dalam Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993)

Haidar Putra Daulay, Historisitas Dan Eksistensi Pesantren, Sekolah Dan Madrasah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001)

Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan Dan Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia, cet.2, (Jakarta: Kencana 2009)

Hasan, M. Tolhah. 1993. Muhammadiyah dan NU dalam Reorientasi Pendidikan, LPY, LKPSMU NU, Yogyakarta.

Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Cet. I; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999.

Hery, Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999),

Indrafahrudi, Soekarto. 1994. Bagaimana Mengakrabkan Sekolah dengan Orang Tua Murid dan Masyarakat, IKIP, Malang.

Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES, 1986, hal. 26-29

Karel Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Jakarta, LP3ES. 1986

Kusumatuti, Frida. 2002. Dasar-Dasar Humas, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Langgulung, Hasan. 1980. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Al-Ma’arif. Bandung.

M. Dawam Raharjo, “Perkembangan Masyarakat dalam Perspektif Pesantren”, Pengantar dalam M. Dawam Raharjo (ed), Pergaulan Dunia Pesantren : Membangun dari Bawah (Jakarta : P3M, 1985

Maksum Mukhtar, Madrasah: Sejarah Dan Perkembangannya, cet. 3 (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 2011)

Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila (Cet. I; Surabaya : Usaha Nasional, 1986), h. 199

Mudjahid, Madrasah Belum Siap Mandiri, Majalah Ikhlas Beramal, No. 15 Tahun III. Desember 2000.

Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Remaja Grafindo Persada, 2005,

Mustofa, Ahmad; Ali, Abdullah. 1997.  Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, CV. Pustaka Setia, Bandung.

Mutakin, Awan. Studi Masyarakat Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977.

Muzayyin  Arifin, Pendidikan Islam  dalam Arus Dinamika Masyarakat : Suatu Pendekatan Filosofis, Pedagogis, Psikososial, dan Kultural  (Jakarta : Golden Terayon Press, t.th.),

Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan, Cet. 1, Jakarta : Paramadina, 1997

Rahim, Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, PT Logos Wacana Ilmu, 2001

Rahim, Husni, DR, Pendidikan Islam Di Indonesia Keluar Dari Eksklusivisme, (dalam Pendidikan untuk masyarakat Indonesia baru), Ikhwanuddin dan Dodo Murtadlo (editor), Jakarta, PT Grasindo, 2002

Shadily, Hassan. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.

Suprayogo, Imam, Madrasah dan Masalah Jati Diri Pendidikan Islam, Edukasi, Vol. 3, Nomer 1, Januari – Maret 2005

Ta’rifin, Ahmad, Reposisi Madrasah di Era Otonomi Pendidikan, Inovasi Kurikulum, Edisi II, Tahun 2003

Undang-undang Sisdiknas, UU No.20 tahun 2003, Diknas RI, Jakarta, 2003

http://www.elearningpendidikan.com


[1]       Disampaikan pada diskusi Mata Kuliah Isu-isu Kontemporer Pendidikan Islam bersama dengan Dosen Pengampu DR. Suwito NS., M.Ag.

[2]     Hery, Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 223-224.

[3]     Fadjar, A. Malik, Madrasah dan Tantangan Modernitas. Cet. I; Bandung : Mizan, 1998 hal.76.

[4]     Ibid. h.36

[5]      Lihat Malik Fajar, Madrasah dan Tantangan Modernitas (Cet. I; Bandung : Mizan, 1998), h. 53

[6]        Shadily, Hassan. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993. H.315

[7]     Mutakin, Awan. Studi Masyarakat Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977 hal.24

[8]     Djumhur dan Danasaputra,  Sejarah Pendidikan Islam 1990, Pustaka Ilmu, Bandung ) hal. 112

[9]     Bawani, Imam, 1987. Segi-Segi Pendidikan Islam, Al-Ikhlas, Surabaya.hal.49

[10]     Ibid.

[11]  Faisal, Sanapiah. 2003, Format-Format Penelitian Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta

[12]  BP-3 MIN Malang I, tt; dalam Imran  Arifin, 1998, Disertasi tidak diterbitkan.

[13]    Mustofa, Ahmad; Ali, Abdullah. 1997.  Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, CV. Pustaka Setia, Bandung. Hal. 151

[14]     Hasan, M. Tolhah. 1993. Muhammadiyah dan NU dalam Reorientasi Pendidikan, LPY, LKPSMU NU, Yogyakarta, hal.52-53

Tentang admin_blog

Blog Pribadi
Pos ini dipublikasikan di Isu-isu Kontemporer Pendidikan Islam. Tandai permalink.

3 Balasan ke Image Masyarakat terhadap Pendidikan Madrasah

  1. Mochammad berkata:

    Menjadi tugas kita semua untuk mengubah imej itu.

    🙂 Salam,

    Mochammad
    http://mochammad4s.wordpress.com
    http://piguranyapakuban.deviantart.com

Tinggalkan komentar